Jalanan tampak
lega. Tiada mobil yang dapat disapa, hanya mobil saya yang melaju dengan
kecepatan 80 km/jam. Angin masih menghebuskan napas kehidupan ke dunia.
Matahari pun sedikit malu menunjukan tampangnya. Tepat di pukul 6 pagi jarum
panjang dijam biru saya. Pagi itu tidak sampai 1 jam saya dijalan dan akhirnya
sampai ketempat tujuan.
Saya harus
melewati portal yang memiliki ruangan kecil disampingnya. Ya, itu tempat
pembayaran karcis masuk. Saya membuka kaca “Selamat pagi,” sapa saya sambil
senyum. Dengan ramah pula wanita paruh baya berbaju hitam didalam ruangan kecil
itu pun membalas “Pagi kak, lima ribu.” Saya pun bergegas mengambil uang di
dompet dan memberikannya kepada wanita bertubuh mungil itu. Sebelum saya menginjakkan
gas mobil untuk melewati portal tersebut, saya melontarkan satu pertanyaan
kepada wanita itu, “Nanti gak usah bayar
lagi kan mbak?”. “Gak usah kak,” jawab wanita tersebut
dengan senyum kecil.
Saya pun
langsung menancapkan gas saat mendengar kalimat itu. Lapangan yang cukup luas
dengan gedung besar ditengahnya sudah ada tepat didepan mobil saya. Mencari
parkir adalah tujuan saya selanjutnya. Satu dua mobil yang sudah terparkir rapi
disana. Mobil saya adalah mobil ketiga. Tukang parkir pun membantu untuk
memarkirkan mobil dengan memberi pengarahan. Sesungguhnya orang tersebut tidak
kelihatan seperti tukang parkir. Dengan bermodalkan peluit saja orang tersebut
bisa mengaku sabagai tukang parkir di tempat itu.
Setelah mobil
saya terparkir rapi bapak berkaos dan
bergantungkan peluit itu pun tiba-tiba mengetuk kaca mobil saya. “Ini sampai malem yah neng?” tanya bapak berkumis
itu. Saya langsung menjawab “Iya.” “Bayar dulu sepuluh ribu,” ucap si tukang
parkir sambil menyodorkan tangannya yang terbuka. Saya berpikir kalau tidak
akan dipungut biaya lagi tapi ternyata?. Akhirnya saya memberikan ‘sepuluh
ribu’ dengan cuma-Cuma dan karena perasaan takut akan diperlakukan tidak baik yasudah dipasrahkan saja.
Gedung putih ditengah. Berukuran raksasa
dengan aspal yang mengelilinginya. Ratusan orang ber-jogging disana. Ayah, ibu, dan anak kelihatan semangat mengayunkan
tangan mereka untuk pemanasan. Memang kawasan ini menjadi salah satu inceran
para pecinta lari pagi. Tempat itu adalah Gelora Bung Karno, Jakarta. Tujuan
saya kesana bukan untuk lari pagi tetapi saya ingin menyaksikan salah satu
konser yang diadakan malam di stadion tersebut.
Memang dari pagi jam 6 sampai malam bahkan
tengah malam akan meraup biaya parkir yang sangat mahal, tapi saya sudah senang
hanya dimintai lima ribu saja didepan dan ternyata saya harus mengeluarkan uang
lagi sepuluh ribu. It’s fine kalau
kata orang inggris.
Pagi berganti
siang, siang berganti sore, sore pun sudah berganti menjadi malam. Tidak terasa
sudah 18 jam saya berada di kawasan GBK. Dengan badan yang berkeringat seusai
nonton konser saya langsung bergegas ke parkiran tempat mobil saya bersandar.
Perjuangan ke parkiran pun tak terelakan.
Ribuan penonton
yang berdesakan keluar harus saya lalui untuk sampai ke parkiran. Satu yang ada
dibenak saya pada saat itu, saya harus cepat-cepat sampai ke mobil. Desakkan
pun sudah mulai memadat dan memadat. Saya yang bertubuh pendek ini pun
tergencet-gencet saat ingin melalui pintu keluar konser. Tidak ada sedikit
ruangan pun untuk menggerakan tangan ataupun badan.
Gelap, pengap,
lembab yang bisa saya deskripsikan pada saat itu. Untuk keluar gerbang konser
saja butuh waktu 30 menit. Saya hanya bisa melangkah kecil didalam desakan
tersebut. Tiba-tiba. “bbuukkk”. Saya
terjatuh dikurumunan orang itu. Badan yang sudah lemas terasa tidak kuat untuk
menopang lagi. Akhirnya ada wanita berkacamata dengan kepangan dirambutnya
membantu saya berdiri. Untung saja saya tidak keinjak-injak dalam kerumunan
itu. “Terima kasih yah mbak,” ujar
saya yang masih berusaha menyeimbangkan badan. “Iya sama-sama,” balas wanita
berparas cantik tersebut.
Sesekali udara
menyentuh wajah dan itu terasa seperti surga dunia bagi saya karena benar-benar
tidak ada udara saat keluar itu. Sudah 45 menit saya berdesakan keluar stadion.
Akhirnya sampailah juga saya ke tempat mobil saya parkir.
Saya lega saat
duduk didalam mobil. Gelap menyelimuti kawasan GBK saat itu. Keluar dari
parkiran pun tidak semudah yang saya bayangkan. Butuh waktu 20 menit untuk
keluar dari kawasan tersebut. Antrean mobil sudah panjang seperti tubuh ular
yang tidak ada ujungnya. Benar-benar butuh perjuangan bukan hanya saat masuk
menonton konser tapi juga saat hendak pulang.
Risiko inilah
yang saya sudah tahu sejak awal jika saya membawa kendaraan pribadi. Akhirnya
sampai juga kegerbang pintu keluar GBK. “Malam mbak, tolong karcis parkir yang
tadi,” ujar pria berbadan kekar dengan berkaos gelap. Untung saja saya belum
membuangnya, saya takut kalo tidak ada saya harus membayarnya lagi. “Nih pak,” ujar saya sambil memberikan
karcis parkir yang tadi saya dapat. “lima ribu lagi,” kata si pria berkepala
pelontos tersebut. Dalam hati saya berkata, “Ini mah sama saja bohong yang tadinya saya senang bayar parkir sampai
malam hanya lima ribu, ehh ternyata
dua puluh ribu juga totalnya.” Tanpa berbasa-basi saya langsung memberikan lima
ribu rupiah kembali untuk keluar dari kawasan GBK.
Jalanan pun
tampak seperti awal. Tiada kendaraan yang menyapa saat jalan pulang. Pukul 1
dini hari saat saya melihat jam biru ditangan kiri. Matahari pun sudah tidak
mau lagi menampakan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar