Selasa, 19 Maret 2013

20.000? Sama Saja Bohong




Jalanan tampak lega. Tiada mobil yang dapat disapa, hanya mobil saya yang melaju dengan kecepatan 80 km/jam. Angin masih menghebuskan napas kehidupan ke dunia. Matahari pun sedikit malu menunjukan tampangnya. Tepat di pukul 6 pagi jarum panjang dijam biru saya. Pagi itu tidak sampai 1 jam saya dijalan dan akhirnya sampai ketempat tujuan.

Saya harus melewati portal yang memiliki ruangan kecil disampingnya. Ya, itu tempat pembayaran karcis masuk. Saya membuka kaca “Selamat pagi,” sapa saya sambil senyum. Dengan ramah pula wanita paruh baya berbaju hitam didalam ruangan kecil itu pun membalas “Pagi kak, lima ribu.” Saya pun bergegas mengambil uang di dompet dan memberikannya kepada wanita bertubuh mungil itu. Sebelum saya menginjakkan gas mobil untuk melewati portal tersebut, saya melontarkan satu pertanyaan kepada wanita itu, “Nanti gak usah bayar lagi kan mbak?”. “Gak usah kak,” jawab wanita tersebut dengan senyum kecil.

Saya pun langsung menancapkan gas saat mendengar kalimat itu. Lapangan yang cukup luas dengan gedung besar ditengahnya sudah ada tepat didepan mobil saya. Mencari parkir adalah tujuan saya selanjutnya. Satu dua mobil yang sudah terparkir rapi disana. Mobil saya adalah mobil ketiga. Tukang parkir pun membantu untuk memarkirkan mobil dengan memberi pengarahan. Sesungguhnya orang tersebut tidak kelihatan seperti tukang parkir. Dengan bermodalkan peluit saja orang tersebut bisa mengaku sabagai tukang parkir di tempat itu. 

Setelah mobil saya terparkir rapi bapak berkaos  dan bergantungkan peluit itu pun tiba-tiba mengetuk kaca mobil saya. “Ini sampai malem yah neng?” tanya bapak berkumis itu. Saya langsung menjawab “Iya.” “Bayar dulu sepuluh ribu,” ucap si tukang parkir sambil menyodorkan tangannya yang terbuka. Saya berpikir kalau tidak akan dipungut biaya lagi tapi ternyata?. Akhirnya saya memberikan ‘sepuluh ribu’ dengan cuma-Cuma dan karena perasaan takut akan diperlakukan tidak baik yasudah dipasrahkan saja. 

Gedung putih ditengah. Berukuran raksasa dengan aspal yang mengelilinginya. Ratusan orang ber-jogging disana. Ayah, ibu, dan anak kelihatan semangat mengayunkan tangan mereka untuk pemanasan. Memang kawasan ini menjadi salah satu inceran para pecinta lari pagi. Tempat itu adalah Gelora Bung Karno, Jakarta. Tujuan saya kesana bukan untuk lari pagi tetapi saya ingin menyaksikan salah satu konser yang diadakan malam di stadion tersebut.

 Memang dari pagi jam 6 sampai malam bahkan tengah malam akan meraup biaya parkir yang sangat mahal, tapi saya sudah senang hanya dimintai lima ribu saja didepan dan ternyata saya harus mengeluarkan uang lagi sepuluh ribu. It’s fine kalau kata orang inggris.

Pagi berganti siang, siang berganti sore, sore pun sudah berganti menjadi malam. Tidak terasa sudah 18 jam saya berada di kawasan GBK. Dengan badan yang berkeringat seusai nonton konser saya langsung bergegas ke parkiran tempat mobil saya bersandar. Perjuangan ke parkiran pun tak terelakan.

Ribuan penonton yang berdesakan keluar harus saya lalui untuk sampai ke parkiran. Satu yang ada dibenak saya pada saat itu, saya harus cepat-cepat sampai ke mobil. Desakkan pun sudah mulai memadat dan memadat. Saya yang bertubuh pendek ini pun tergencet-gencet saat ingin melalui pintu keluar konser. Tidak ada sedikit ruangan pun untuk menggerakan tangan ataupun badan.

Gelap, pengap, lembab yang bisa saya deskripsikan pada saat itu. Untuk keluar gerbang konser saja butuh waktu 30 menit. Saya hanya bisa melangkah kecil didalam desakan tersebut. Tiba-tiba. “bbuukkk”. Saya terjatuh dikurumunan orang itu. Badan yang sudah lemas terasa tidak kuat untuk menopang lagi. Akhirnya ada wanita berkacamata dengan kepangan dirambutnya membantu saya berdiri. Untung saja saya tidak keinjak-injak dalam kerumunan itu. “Terima kasih yah mbak,” ujar saya yang masih berusaha menyeimbangkan badan. “Iya sama-sama,” balas wanita berparas cantik tersebut. 

Sesekali udara menyentuh wajah dan itu terasa seperti surga dunia bagi saya karena benar-benar tidak ada udara saat keluar itu. Sudah 45 menit saya berdesakan keluar stadion. Akhirnya sampailah juga saya ke tempat mobil saya parkir.

Saya lega saat duduk didalam mobil. Gelap menyelimuti kawasan GBK saat itu. Keluar dari parkiran pun tidak semudah yang saya bayangkan. Butuh waktu 20 menit untuk keluar dari kawasan tersebut. Antrean mobil sudah panjang seperti tubuh ular yang tidak ada ujungnya. Benar-benar butuh perjuangan bukan hanya saat masuk menonton konser tapi juga saat hendak pulang. 

Risiko inilah yang saya sudah tahu sejak awal jika saya membawa kendaraan pribadi. Akhirnya sampai juga kegerbang pintu keluar GBK. “Malam mbak, tolong karcis parkir yang tadi,” ujar pria berbadan kekar dengan berkaos gelap. Untung saja saya belum membuangnya, saya takut kalo tidak ada saya harus membayarnya lagi. “Nih pak,” ujar saya sambil memberikan karcis parkir yang tadi saya dapat. “lima ribu lagi,” kata si pria berkepala pelontos tersebut. Dalam hati saya berkata, “Ini mah sama saja bohong yang tadinya saya senang bayar parkir sampai malam hanya lima ribu, ehh ternyata dua puluh ribu juga totalnya.” Tanpa berbasa-basi saya langsung memberikan lima ribu rupiah kembali untuk keluar dari kawasan GBK.

Jalanan pun tampak seperti awal. Tiada kendaraan yang menyapa saat jalan pulang. Pukul 1 dini hari saat saya melihat jam biru ditangan kiri. Matahari pun sudah tidak mau lagi menampakan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar