Selasa, 14 Mei 2013

Mau Panas, Mau Adem Sama aja Macet




Jika ditanya kepada warga Jakarta apakah masalah yang harus dibenahi saat ini selain banjir adalah kemacetan. Kemacetan adalah salah satu momok yang tidak bisa diatasi sampai saat ini di Jakarta. Walaupun sudah melalui berbagai masa pemerintahan Gubernur Jakarta masalah kemacetan inilah belum dapat teratasi dengan siknifikan.

Jumat, 10 Mei 2013. Saya berjalan menyusuri jembatan beralaskan seng untuk menuju ke satu halte bertuliskan Pesakih, Daan Mogot. Hari itu saya memang tidak ada kegiatan perkuliahan. Saya berinisiatif untuk mengobservasi langsung bagaimana sih situasi yang akan ditampilkan selama perjalanan ke pusat kota Jakarta dengan menggunakan transportasi umum, Busway.

Pukul 8:00 adalah waktu yang tepat untuk melihat bagaimana hiruk-pikuk Jakarta khusunya di wilayah Jakarta Barat. Halte Pesakih bagaikan tempat orang menunggu sumbangan. Antrean yang begitu panjang seperti mainan ular tangga itu harus saya ikuti jika ingin masuk ke dalam bus. 

Setengah jam, satu jam dan akhirnya saya berhasil masuk kedalam kendaraan besar yang sudah sesak penuh dengan manusia. Tidak ada celah untuk menggerakan badan dengan leluasa. Sikut-sikut beraduan. Dempet-dempetan badan tidak lah terelakan dalam bus yang cukup besar tersebut.

Hal yang saya bisa lihat hanyalah ada manusia, manusia, dan manusia. Saya berdiri tidak jauh dari jendela. Saat saya melihat keadaan jalan diluar. Ratusan Bahkan ribuan mobil dan motor yang tampak. Jalanan yang lebar itu seakan menjadi tempat parkir. Tidak bergerak sama sekali, begitu pula dengan Busway yang saya tumpangi.

Tepat disamping saya, seorang perempuan yang umurnya sekitar 20-an. Berpenampilan casual. Mengenakan celana jeans panjang. Dengan mengenakan masker kain mulutnya dan tidak ketinggalan selayaknya anak muda di angkutan umum, headset.

“Maaf, ini emang udah  tiap hari yah begini kalo pagi?” tanya saya kepada perempuan itu

“Iya mbak, ini sih masih mending kalo misalnya hari senin lebih parah dari ini. Ini masih jalan sedikit-sedikit kalo senen mah bener-bener stuck kalo jem segini.” Jawab perempuan berperawakan kurus dan tinggi ini setelah membuka masker mulutnya.

Obrolan saya dengan perempuan bernama Sinta Indriyani ini pun berlangsung selama perjalanan. Seakan teman baru karena umurnya sama dengan saya, saya berbincang bagaimana hidupnya di Jakarta ini.

Sinta adalah mahasiswi Trisakti School of Management yang ada di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Setiap pagi dan sore Sinta harus melawan kejenuhannya melalui kemacetan di daerah Kalideres-Rawa Baya- Jembatan Gantung. Secara gamblang Sinta memberitahukan kepada sata titik-titik kemacetan yang dia alami setiap hari.

Dilansir oleh website INSTRAN (Institut Studi Transportasi), Pemberlakuan ERP(Electronic Road Pricing) yang dicanangkan oleh Fauzi bowo saat dia menjadi Gubernur Jakarta baru dapat dilaksanakan pada 2012, yakni saat semua koridor busway beroperasi sesuai yang dijanjikan pemerintah Jakarta. Selain itu, pemerintah harus merestrukturisasi angkutan non-busway, seperti Metromini, bus, dan Kopaja. Ketua Komite 1 DPD RI, Dani Anwar, berjanji setelah masa reses, mereka akan mengundang kembali Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi untuk mendesakkan percepatan pelaksanaan aturan-aturan tersebut. "Kami akan usahakan terus, karena jembatan antara pemerintah pusat dan DKI merupakan fungsi dari kami. Namun kami juga meminta DKI untuk lebih proaktif,”kata Dani.

Kutipan diatas jelas-jelas menunjukan ditahun 2012. Sekarang sudah menginjak ke tahun 2013 bahkan sudah mau pertengahan tahun pemerintah saya lihat belum melaksanakan kegiatan yang dikatakan tadi. Terlepas dari janji-janji gombal para pemerintah Jakarta, Saya sempat menanyakan mengapa dia lebih memilih untuk menggunakan transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi.

Saat saya menanyakan mengapa dia lebih memilih naik transportasi umum, dengan santunnya dia menjawab.

“Setidaknya lebih cepet soalnya kan busway ada jalur khususnya dan  pas sama posisi kampus saya yang mudah dijangkau kalo naek busway”

Saat kami berbincang satu persatu-satu penumpang mulai berkurang dan akhirnya kami mendapatkan tempat duduk. Obrolan pun berlanjut. Sama halnya dengan mahasiswa-mahasiswi lain, rupanya Sinta juga takut telat ke kampus jika dia mengalami kemacetan dijalan.

“Saya emosi kalo uda macet di daerah sini. Bikin degdegan dan takut telat apalagi kalo ujian. Menghabiskan waktu dijalan aja” jawab Sinta yang masih mencolokan headset di telinganya.

Akhirnya Sinta pun pamit dengan saya karena dia sudah sampe halte yang biasa dia turun. Terlihat memang tepat didepan halte itu ada gedung tinggi abu-abu bertuliskan Trisakti School of Management.

***

Sabtu, 11 Mei 2012. Setelah sehari penulusuran saya ke pusat kemacetan di daerah Jakarta Barat saya teringat bahwa ada teman saya yang mengemban ilmu tidak jauh dari kampus Sinta dan pasti melalui jalanan yang kemarin saya lalu itu.

Ranny Evelyn, Mahasiswi Universitas Tarumanegara ini setiap hari juga menggunakan akses jalan Kalideres-Rawa Buaya-Jembatan Gantung. Tapi bedanya dia tidak menggunakan transportasi umum melainkan kendaraan pribadi.

Ditemui dikediamannya di Perumaham Poris, Tangerang saya menanyakan hal yang sama mengenai kemacetan yang biasa dia lalui jika ingin pergi ke kampus.

“Iya gue tiap hari harus macet-macetan tuh di cengkareng kalo mau ke kampus.” jawab perempuan berambut panjang dan berpenampilan sedikit tomboy ini. 

“Terus, kenapa lu lebih milih naek kendaraan pribadi sih daripada transportasi umum?” tanya saya asik.

yah kalo naek kendaraan pribadi lebih enak, gak usah sempit-sempitan. Lagi pula naek mobil sendiri sama trasportasi umum juga sama aja kena macet juga kan kalo ke daerah grogol sana.” ujar perempuan yang mengambil jurusan Design Komunikasi Visual di Untar ini.

Melihat kedua perbandingan ini, yang satu memanfaatkan transportasi umum yang disediakan pemerintah dan yang satu lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi itu semua tidak menjadi masalah. Sekarang masalahnya apakah askes perjalanan menuju tujuan itu lancar atau tidak.

Walaupun Sinta dan Ranny menggunakan mediasi yang berbeda untuk menuju daerah Grogol tetapi satu yang sama dan yang pasti mereka lihat adalah kemacetan. 

Satu kutipan Sinta yang menurut saya menarik saat observasi langsung kemacetan yang terjadi di kawasan Jakarta Barat itu. 

“Busway kan dijalanin buat mengatasi kemacetan di Jakarta. Tapi nyatanya apa? Jalanan buswaynya aja ngga steril, banyak kendaraan yang masuk jalur Busway. Sampai kapan Jakarta nggak bakalan macet?”

Jalan-jalan ke Kampung Por”Tugu”ese



oleh: Vacilia

 Neng salah kalau dateng hari ini kesini. Harusnya tuh pas natalan, pasti rame disini,” ujar kakek berkulit sawo matang dan bermata coklat seperti orang bule kepada saya. Ya, beda empat hari sebelum hari natal. Hari itu 21 Desember 2012. Saya harus melalui kawasan peindustrian dan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta untuk sampai ke wisata pesisir Jakarta Utara, Kampung Tugu. 

Sejak awal memang saya berencana untuk mengunjungi Kampung tersebut karena disamping untuk memenuhi tugas kuliah saya juga senang berjalan ke suatu tempat yang menarik dan juga memiliki sejarah di daerah tersebut.

Siang itu, matahari sangat ganas menyapa. Hanya terik dan panas yang dapat saya rasakan. Berlokasi di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, saya berkesempatan melihat bagaimana kegiatan yang dilakukan masyarakat keturunan portugis sehari-hari dan berdialog dengan salah seorang warga Kampung Tugu asli keturunan portugis.

Sebuah kampung yang tidak begitu luas dan sedikit sumpek. Jarak antar rumah yang berdekatan mewarnai pemandangan saya saat memasuki kawasan Kampung Tugu ini. Saat saya memasuki gerbang bertuliskan ‘Kampung Tugu” rasa penasaran dan takut pun melanda. Mengapa rasa takut saya juga ada? Karena tepat dibelakang mobil saya parkir itu adalah tempat pemakaman. 

Saya sempat bertanya dengan pria yang sudah keriput dan giginya pun bisa dihitung pakai jari.
“Pak, itu tempat pemakaman untuk siapa? Kok banyak gitu?” tanya saya penasaran. 

Bapak itu menjawab dengan senyum 

“Itu pemakaman untuk semua warga tugu yang meninggal dan nggak sembarangan orang yang bisa dikubur disana.”

“Jadi hanya orang-orang keturunan portugis saja yang dikubur disana?”

“iya.”

Ternyata dalam Kampung Tugu ini terdapat tiga kawasan, yaitu pertama yang sudah saya sampaikan tadi saya disambut dengan kompleks pemakaman, kedua Gereja Protestan Tugu, dan paling belakang adalah Kampung Tugu.

Berbataskan tembok yang mulai keropos kemudian jembatan beton yang kokoh daya bercengkrama dengan pria keriput bernama Andrew. Dengan bau tidak sedap untuk dicium yang berasal dari kali dibawah jembatan itu saya menanyakan bagaimana bisa kampung ini berdiri di Jakarta.

“Kenapa sih pak kampung ini disebut kampung tugu?”

“Kata Tugu berasal dari kata Portuguese. Kalo diperhatiin kata “Tugu” itu berasal dari tengah-tengah kata PorTUGUese. Ada cerita lain juga katanya kata-kata “Tugu” berasal dari peninggalan kerajaan Punawarman dimana diketemukannya satu tugu, batu bertulis di sekitar wilayah Kampung Tugu yang sekarang ada di Semper Barat ini,” jawab Pak Andrew dengan ramahnya.

Berdirinya kampung ini tidak bisa kita lepaskan dari sejarah Indonesia. Dulu saat kota Malaka (sekarang Malaysia Barat) yang merupakan kota dagang Portugis jatuh ke tangan Belanda, banyak orang-orang Portugis yang menjadi tawanan Belanda dan dibawa ke Batavia. Kemudian orang-orang Portugis tersebut dibebaskan dan diberi nama “Mardijekers” yang berarti tawanan yang dibebaskan. Kebanyakan dari mereka diberi nama Belanda bahkan tidak sedikit dari mereka yang berpindah agama dari Khatolik menjadi Protestan.

Mayoritas orang portugis itu beragama Khatolik tetapi karena adanya pembauran dari berbagai agama, warga tugu lebih memilih pindah agama dari khatolik ke Kristen Protestan dan sampai sekarang mayoritas masyarakat Tugu menganut agama Kristen Protestan.

Sebagaian dari tawanan iini tahun 1661 oleh pemerintah VOC Belanda dibuang kesuatu tempat sekitar 20 km sebelah tenggara Batavia, yang kita kenal dengan “TOEGOE”, tempat yang penuh rawa-rawa dan binatang buas saat itu. Para serdadu Portugis yang dibuang ke Kampung Tugu ini mendapatkan istri-istri dari penduduk sekitar, seperti orang China dan orang Indonesia.  Keturunan mereka adalah keturunan berdarah campuran sehingga diberi julukan “Mesteizen” yang berarti campuran.

Saking asyiknya saya berbincang dengan Bapak berperawakan tinggi kurus ini, tiba-tiba ada seorang pria mengenakan kaos merah, berbadan gemuk, berkulit sawo matang menghampiri saya dan pak Andrew di jembatan tempat kita berbincang.

“Ini siapa ndrew?” tanya bapak yang umurnya sekitar separuh abad itu sambil menunjuk saya.

“Dia lagi jalan-jalan kesini, terus mau tahu tentang sejarah kampung kita.”

Oh kalo mau tahu lebih banyak mah harusnya diajak masuk ke Gerejanya sono.”

Mau neng saya ajak masuk ke dalem Gereja?” tanya pak Andrew.

Dengan semangat dan senang hati saya menjawab “Mau lah pak, mumpung ada disini jadi pengetahuannya ngga setengah-setengah.”

***

Jalanlah saya bersama pak Andrew dengan satu pria yang saya belum ketahui namanya itu ke Gereja Tugu yang berada tepat di tengah kawasan Kampung Tugu ini. Saat pintu cokelat besar dibuka oleh pak Andrew, saya merasakan ada suatu hawa yang tidak seperti biasanya.

Sunyi, senyap, dan setiap langkah saya dapat menghasilkan gema yang cukup keras saat di dalam ruangan yang tidak terlalu lebar itu tersebut. Salib besar terpampang jelas saat saya masuk. Misbar dan kantong-kantong persembahan pun menghiasi Gereja Tugu ini.

Pak Andrew dan kawannya biasa saja saat memasuki tempat tersebut karena memang sudah terbiasa, tetapi saya yang baru pertama kali masuk ke dalam Gereja yang tak ada satu pun jemaat itu merasakan seperti ada kehidupan lain yang tak tampak oleh kasat mata.

Pak Andrew menceritakan sekilas berdirinya Gereja tersebut. Pada 1661 saat orang-orang Tugu tiba di Kampung Tugu, ibadah mereka masih dilayani oleh Jemaat Portugis di Jakarta, barulah pada 1678 Pendeta Melchior Leydecker membangun sebuah gereja yang pertama diluar Jakarta. Gedung ini digunakan selain untuk ibadah juga dipergunakan untuk kegiatan sekolah. Pada 1680 jumlah orang kristen di Tugu mencapai 800 jiwa. 

Kemudian pada 1700 terjadi wabah influenza yang parah sehingga banyak warga Tugu yang meninggal. Tahun 1738 dibangun gedung Gereja Tugu yang kedua menggantikan Gereja lama yang mengalami kerusakan dimakan usia. 

Tahun 1744 Yustinus Vink seorang tuan tanah Cilincing  membangun kembali sebuah Gedung Gereja, sebagaimana kita lihat sekarang ini dan dipergunakan oleh orang-orang Tugu untuk beribadah. Lalu Tahun 1960 Gereja Tugu yang berlokasi di Jl. Raya Tugu Semper No. 20, RT 010/06, Kel Semper Barat, Jakarta Utara, ditetapkan dan di syahkan masuk menjadi anggota penuh GPIB.

***

“Udah yuk  pak kita ngobrolnya diluar aja, nggak enak disini,” ajak saya sambil berjalan keluar Gereja.
Pak Andrew pun mengikuti kemauan saya untuk berbincang diluar.

“Apa aja sih pak kegiatan warga Tugu disini?”

“Sama kayak masyarakat Jakarta lainnya lah neng. Tapi ada satu kegiatan yang nggak  dilakuin sama warga Jakarta.”

“Apaan pak?”

“Kegiatan komunitas buat melestarikan Keroncong Tugu neng.”

Saat saya mendengar keroncong tugu, wah saya sangat penasaran sekali bagaimana cara memainkannya dan ingin meminta pak Andrew untuk menunjukkannya kepada saya.

“Pak, saya mau lihat dong kegiatan keroncong tugu itu.”

Yahh neng, kalo sekarang mah gak ada yang maenin. Warga yang disini mah sedikit banget yang bisa main keroncong begituan.”

Dengan rasa sedikit kecewa dan memelas saya berkata, “yah pak masa gak ada satu pun gitu yang bisa kasih unjuk saya gimana musik keroncong tugu itu.”

Kalo neng mau, neng bisa dateng ke Pasar Ikan, Kota sana. Nah disana nanti malem komunitas keroncong kita bakalan tampil.”

***

Petualangan saya menjajaki Kampung Tugu di Jakarta belum berakhir sampai disiang itu. Pukul 16:00 WIB saya sampai ke Pasar Ikan, tempat yang dijanjikan Pak Andrew tadi. Tampak stand-stand yang menjual pernak-pernik kota Jakarta ataupun baju bertuliskan “I love JKT”. Abang penjual minuman dan makanan  pun tampak dalam bazar tersebut. 

Sore itu udara berubah menjadi sejuk dan memberikan sedikit suasana kalau akan turun hujan. Sedang enaknya saya jalan untuk mencari makan, tiba-tiba hujan pun turun tanpa memperdulikan ada siapa dan sedang apa orang-orang dibawahnya. Saya berlari ketempat yang bisa saya jadikan tempat meneduh.
Gerobak bertuliskan Mie Ayam berada tepat dibelakang saya. Ternyata itu adalah stand menjual mie ayam.

Bang, pesen satu yah. Jangan pake daun bawang.”

“Iya neng

Setelah menunggu beberapa menit, semangkuk mie ayam sedap sudah ada di depan pandangan saya. Saya pun langsung melahap mie tersebut tanpa ampun.

“Berapa bang?” tanya saya.

“Delapan ribu neng.”

Nih bang. Ohiyaa bang saya mau tanya, nanti ada pertunjukan keroncong tugu yah disini? Dimananya bang?” tanya saya sambil menyodorkan uang delapan ribu ke tukang mie itu.

ooh keroncong tugu? Itu tuh disana, tapi pertunjukannya mah masih lama neng. Kalo gak salah jem 8 malem deh.”

Mendengar itu saya berpikir apa yang harus saya lakukan selama 4 jam di wilayah yang tidak pernah saya datangi dan sendiri pula. Setelah mengisi perut saya bergegas untuk berkeliling wilayah yang tidak jauh dengan kota tua itu. 

Acara bazar yang diadakan kedua kalinya di pasar ikan ini bertujuan untuk emnghibur para warga yang tinggal di pasar ikan. Beruntungnya saya, keroncong tugu yang saya ingin saksikan akan tampil malam nanti untuk memeriahkan acara Pasar Ikan Fair 2012 ini.

Jam ternyata berlalu begitu cepat dan sampailah jarum jam saya tepat di pukul 20:00. Gelap mulai melanda. Hanya lampu-lampu panggung yah menerangi pada malam itu. Penonton sudah bersiap dengan melayangkan tepuk tangan saat anggota dari keroncong tugu itu naik ke atas panggung. 

Satu jam para komunitas keroncong tugu itu membius saya dan penonton dengan lagu-lagu diantaranya Jogjakarta, Nonton Bioskop, dan lagu-lagu lawas lainnya yang pasti dikombinasikan dengan alunan musik keroncong khas kampung tugu. Tampak warga asing pun menikmati setiap alunan yang disuguhkan oleh komunitas itu. Akhirnya pertunjukan keroncong tugu itu selesai. Tidak hanya sampai saya melihat pertunjukkannya saja tetapi banyak pertanyaan akan ingin saya lontarkan ke komunitas keroncong itu.

Saya mencari inisiatif untuk ke belakang panggung dan bicara dengan pihak yang bertanggung jawab acara tersebut. Setelah menunggu setengah jam, akhirnya saya diperbolehkan masuk ke belakang panggung dan berbincang dengan kepala atau yang mengorganisasikan komunitas keroncong tugu ini.
Terlepas dari memperkenalkan nama dan tujuan saya kesana, saya langsung menanyakan pertanyaan kepada paka yang tingginya sekitar 170cm, berambut sedikit panjang dan berwarnakan putih itu. Pria itu bernama Andre Juan Michiels.

“Saya suka banget deh sama perform-nya tadi. Sejak kapan sih pak komunitas keroncong ini berdiri? ”

“Terima kasih sebelumnya. Awal bermula dari orangtua saya pada 12 Juli 1988. Kemudian karena mereka mengajarkannya ke generasi penerusnya seperti saya. Jadi keroncong tugu ini dilestarikan dengan cara turun menurun,” ujar pria setengah abad itu.

“Apa sih pak yang membedakan keroncong tugu ini dengan keroncong yang lain seperti yang ada di Jawa?”
Keroncong emang  asli dari Indonesia tetapi ada beberapa alat musik yang dibawa oleh nenek moyang kami dari negara portugis dan terjadi percampuran dengan musik masyarakat setempat. Perbedaannya sih salah satunya adalah lagu-lagu yang dibawakan dan penyanyinya. Biasanya kita mengenal penyanyi yang ada dalam keroncong-keroncong di jawa ada sinden, tapi di komunitas keroncong tugu ini ngga memakai sinden. Lagu-lagu yang kami bawakan juga bervariasi,”
Perbincangan saya dengan pria yang masih terlihat guratan prortugisnya itu harus terhenti dikarenakan para rombongan atau komunitas keroncong tersebut harus pergi segera mungkin. Hari juga sudah semakin larut.
Pukul 22:00 sudah memanggil saya untuk bergegas pulang. Dingin sudah mulai menyerap ke dalam kulit saya. Udara sejuk cenderung dingin mewarnai malam itu. Acara bazar pun selesai. Tampak para crew membongkar panggung megah yang tadi saya lihat sebelum berbincang dengan Pak Andre.

Kamis, 02 Mei 2013

Kecil-kecil Cabe Rawit



Karya         :  Vacilia


Berambut hitam panjang. Tinggi sekitar 155 cm. Muka yang polos layaknya anak sekolah menangah. Semua itu tercermin dari gadis bernama Sheila Ayu Natasha. Ayu, panggilan yang biasa ia dapatkan adalah seorang pemandu wisata teladan walaupun diumurnya yang masih muda.

Puluhan bahkan ratusan kertas berserakan diatas meja kerja Ayu. Sudah biasa Ayu bercengkrama dengan banyak kertas dengan rute perjalanan ke berbagai negara. Suatu pekerjaan yang sangat pas baginya karena memang ini lah pekerjaan yang seharusnya diemban ketika ia lulus dari SMIP Paramitha 2, Jakarta.

Diumurnya yang masih muda, Ayu melahap dua pekerjaan sekaligus di dalam dunia biro perjalanan. “Saya bekerja di Tour Outbound Staff PT Golden Rama Express. Tapi untuk periode high season dalam dunia travel (desember, juni-juli, dan lebaran) biasa saya juga bekerja sebagai Tour Leader,” jelas Ayu ramah.

Gadis kelahiran Jakarta 1993 yang seharusnya menikmati masa mudanya di bangku perkuliahan ini lebih memilih untuk bekerja untuk membantu keuangan  keluarganya. Kesedihan tiba-tiba tampak dari wajahnya saat ditanya tentang keluarganya. “Mama saya sudah meninggal dua tahun yang lalu dan saya sebagai anak harus membantu Papa saya dalam menafkahi ketiga anaknya termasuk saya,” jawab Ayu sambil mengusap air matanya.

Selain ingin membantu Ayahnya dalam keuangan, alasan lain mengapa Ayu bekerja dalam bidang ini karena memang hobi atau kegemaran anak bungu dari tiga bersaudara ini adalah traveling. “Nah, makanya saya senang dengan pekerjaan saya dan saya menikmati itu.”

Pemandu wisata yang terkadang mengenakan kacamata ini sudah menapaki kakinya di berbagai negara, dari Negeri Singa sampai Negeri Gajah Putih. Walaupun hanya di bagian Asia saja tetapi Ayu merasa bersyukur. Selain dapat berjalan-jalan, Ayu tahu akan tanggung jawabnya atas pekerjaan sebagai tour leader.

Semua pekerjaan pasti memiliki hambatan atau kesulitannya. Hal itu juga pernah mewarnai 5 tahun pekerjaan Ayu dalam dunia biro perjalanan. “Kesulitan yang paling susah sampai saat ini sih mengerti tamu dengan banyak permintaan. Saya juga mengurusi banyak group dengan periode keberangkatan yang berbeda-beda. Ribetnya sih ampun-ampun, hehe.”

Saat ditanya tentang kehidupan percintaannya, Ayu yang tadinya engan mengungkapkannya berkata “ Pacar sih ada tapi yah sebagai penyemangat kehidupan saja. Let it flow aja deh kalo saya mah,” canda Ayu dengan muka berwarna seperti buah peach itu.

Walau baru 5 tahun ia menjalani perkerjaan ini, Ayu menceritakan pengalamannya yang paling ia ingat selama bekerja di biro perjalanan tersebut. “Kalau untuk pengalaman sih banyak banget yah yang udah gue lalui. Pengalaman berharga yang paling gua inget itu saat tamu ada marah-marah ke gue dimana itu bukan kesalahan gue. Yah udah sih, jadi pengalaman aja hehe,” cerita Ayu sambil melemparkan senyum.
Pekerjaan tanpa tantangan layaknya makanan yang hambar tanpa garam. Begitu pula dalam dunia biro perjalanan ini. Gelap dan hanya ada lampu penerangan di meja Ayu, Ayu menceritakan tantangan yang dihadapinya saat membawa rombongan. “Tantangan yang paling sulit sampai sekarang sih, saat saya disuruh bawa group ke tempat dimana saya baru pertama kali ke negara itu, saya masih belum tau mengenai apa-apa, sedangkan disitu posisi saya adalah Tour Leader. Kebayang dong gimana seremnya or takutnya gue sebelum disuruh bawa tour itu.. Cuma yah, kita mesti terlihat profesional dan stay cool aja di depan tamu hehehe,” ungkap Ayu asik.

Kehidupan terkadang menuntut kita untuk mengikuti segala arus yang ada. Seringkali prinsip dalam diri pun harus dipendam untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan. Ayu seseorang yang memantapkan prinsip hidup khususnya dalam melakukan pekerjaan yang tidak semua orang bisa lakukan di usia muda. “Prinsip gue sih simple yah, gak ada orang yang bisa langsung pinter sebelum mengalami masa-masa bodoh. Jadi semuanya sih butuh proses. Learning by doing aja,” jawab Ayu, gadis berlesung pipi itu.