oleh: Vacilia
“Neng salah kalau dateng hari ini kesini. Harusnya tuh pas natalan, pasti rame disini,”
ujar kakek berkulit sawo matang dan bermata coklat seperti orang bule kepada
saya. Ya, beda empat hari sebelum hari natal. Hari itu 21 Desember 2012. Saya
harus melalui kawasan peindustrian dan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta
untuk sampai ke wisata pesisir Jakarta Utara, Kampung Tugu.
Sejak awal memang saya berencana untuk mengunjungi
Kampung tersebut karena disamping untuk memenuhi tugas kuliah saya juga senang
berjalan ke suatu tempat yang menarik dan juga memiliki sejarah di daerah
tersebut.
Siang itu, matahari sangat ganas menyapa. Hanya
terik dan panas yang dapat saya rasakan. Berlokasi di Kelurahan Semper Barat,
Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, saya berkesempatan melihat bagaimana
kegiatan yang dilakukan masyarakat keturunan portugis sehari-hari dan berdialog
dengan salah seorang warga Kampung Tugu asli keturunan portugis.
Sebuah kampung yang tidak begitu luas dan sedikit
sumpek. Jarak antar rumah yang berdekatan mewarnai pemandangan saya saat
memasuki kawasan Kampung Tugu ini. Saat saya memasuki gerbang bertuliskan
‘Kampung Tugu” rasa penasaran dan takut pun melanda. Mengapa rasa takut saya
juga ada? Karena tepat dibelakang mobil saya parkir itu adalah tempat
pemakaman.
Saya sempat bertanya dengan pria yang sudah keriput
dan giginya pun bisa dihitung pakai jari.
“Pak, itu tempat pemakaman untuk siapa? Kok banyak
gitu?” tanya saya penasaran.
Bapak itu menjawab dengan senyum
“Itu pemakaman untuk semua warga tugu yang meninggal
dan nggak sembarangan orang yang bisa
dikubur disana.”
“Jadi hanya orang-orang keturunan portugis saja yang
dikubur disana?”
“iya.”
Ternyata dalam Kampung Tugu ini terdapat tiga
kawasan, yaitu pertama yang sudah saya sampaikan tadi saya disambut dengan
kompleks pemakaman, kedua Gereja Protestan Tugu, dan paling belakang adalah
Kampung Tugu.
Berbataskan tembok yang mulai keropos kemudian
jembatan beton yang kokoh daya bercengkrama dengan pria keriput bernama Andrew.
Dengan bau tidak sedap untuk dicium yang berasal dari kali dibawah jembatan itu
saya menanyakan bagaimana bisa kampung ini berdiri di Jakarta.
“Kenapa sih pak kampung ini disebut
kampung tugu?”
“Kata Tugu berasal dari kata Portuguese. Kalo diperhatiin kata “Tugu”
itu berasal dari tengah-tengah kata PorTUGUese. Ada cerita lain juga
katanya kata-kata “Tugu” berasal dari peninggalan kerajaan Punawarman dimana
diketemukannya satu tugu, batu bertulis di sekitar wilayah Kampung Tugu yang
sekarang ada di Semper Barat ini,” jawab Pak Andrew dengan ramahnya.
Berdirinya kampung ini tidak bisa kita
lepaskan dari sejarah Indonesia. Dulu saat kota Malaka (sekarang Malaysia
Barat) yang merupakan kota dagang Portugis jatuh ke tangan Belanda, banyak
orang-orang Portugis yang menjadi tawanan Belanda dan dibawa ke Batavia.
Kemudian orang-orang Portugis tersebut dibebaskan dan diberi nama “Mardijekers” yang berarti tawanan yang
dibebaskan. Kebanyakan dari mereka diberi nama Belanda bahkan tidak sedikit
dari mereka yang berpindah agama dari Khatolik menjadi Protestan.
Mayoritas orang portugis itu beragama
Khatolik tetapi karena adanya pembauran dari berbagai agama, warga tugu lebih
memilih pindah agama dari khatolik ke Kristen Protestan dan sampai sekarang
mayoritas masyarakat Tugu menganut agama Kristen Protestan.
Sebagaian dari tawanan iini tahun 1661
oleh pemerintah VOC Belanda dibuang kesuatu tempat sekitar 20 km sebelah
tenggara Batavia, yang kita kenal dengan “TOEGOE”, tempat yang penuh rawa-rawa
dan binatang buas saat itu. Para serdadu Portugis yang dibuang ke Kampung Tugu
ini mendapatkan istri-istri dari penduduk sekitar, seperti orang China dan
orang Indonesia. Keturunan mereka adalah
keturunan berdarah campuran sehingga diberi julukan “Mesteizen” yang berarti
campuran.
Saking asyiknya saya berbincang dengan
Bapak berperawakan tinggi kurus ini, tiba-tiba ada seorang pria mengenakan kaos
merah, berbadan gemuk, berkulit sawo matang menghampiri saya dan pak Andrew di
jembatan tempat kita berbincang.
“Ini siapa ndrew?” tanya bapak yang
umurnya sekitar separuh abad itu sambil menunjuk saya.
“Dia lagi jalan-jalan kesini, terus mau tahu tentang sejarah kampung
kita.”
“Oh
kalo mau tahu lebih banyak mah harusnya diajak masuk ke Gerejanya sono.”
“Mau
neng saya ajak masuk ke dalem Gereja?”
tanya pak Andrew.
Dengan semangat dan senang hati saya
menjawab “Mau lah pak, mumpung ada disini jadi pengetahuannya ngga setengah-setengah.”
***
Jalanlah saya bersama pak Andrew dengan
satu pria yang saya belum ketahui namanya itu ke Gereja Tugu yang berada tepat
di tengah kawasan Kampung Tugu ini. Saat pintu cokelat besar dibuka oleh pak
Andrew, saya merasakan ada suatu hawa yang tidak seperti biasanya.
Sunyi, senyap, dan setiap langkah saya
dapat menghasilkan gema yang cukup keras saat di dalam ruangan yang tidak
terlalu lebar itu tersebut. Salib besar terpampang jelas saat saya masuk.
Misbar dan kantong-kantong persembahan pun menghiasi Gereja Tugu ini.
Pak Andrew dan kawannya biasa saja saat
memasuki tempat tersebut karena memang sudah terbiasa, tetapi saya yang baru
pertama kali masuk ke dalam Gereja yang tak ada satu pun jemaat itu merasakan
seperti ada kehidupan lain yang tak tampak oleh kasat mata.
Pak Andrew menceritakan sekilas
berdirinya Gereja tersebut. Pada 1661 saat orang-orang Tugu tiba di Kampung
Tugu, ibadah mereka masih dilayani oleh Jemaat Portugis di Jakarta, barulah
pada 1678 Pendeta Melchior Leydecker membangun sebuah gereja yang pertama
diluar Jakarta. Gedung ini digunakan selain untuk ibadah juga dipergunakan
untuk kegiatan sekolah. Pada 1680 jumlah orang kristen di Tugu mencapai 800
jiwa.
Kemudian pada 1700 terjadi wabah
influenza yang parah sehingga banyak warga Tugu yang meninggal. Tahun 1738
dibangun gedung Gereja Tugu yang kedua menggantikan Gereja lama yang mengalami
kerusakan dimakan usia.
Tahun 1744 Yustinus Vink seorang tuan
tanah Cilincing membangun kembali sebuah
Gedung Gereja, sebagaimana kita lihat sekarang ini dan dipergunakan oleh
orang-orang Tugu untuk beribadah. Lalu Tahun 1960 Gereja Tugu yang berlokasi di
Jl. Raya Tugu Semper No. 20, RT 010/06, Kel Semper Barat, Jakarta Utara,
ditetapkan dan di syahkan masuk menjadi anggota penuh GPIB.
***
“Udah yuk pak kita ngobrolnya diluar aja, nggak enak disini,” ajak saya sambil
berjalan keluar Gereja.
Pak Andrew pun mengikuti kemauan saya
untuk berbincang diluar.
“Apa aja
sih pak kegiatan warga Tugu disini?”
“Sama kayak masyarakat Jakarta lainnya lah neng. Tapi ada satu kegiatan yang nggak dilakuin sama warga Jakarta.”
“Apaan pak?”
“Kegiatan komunitas buat melestarikan Keroncong Tugu neng.”
Saat saya mendengar keroncong tugu, wah saya sangat penasaran sekali
bagaimana cara memainkannya dan ingin meminta pak Andrew untuk menunjukkannya
kepada saya.
“Pak, saya mau lihat dong kegiatan
keroncong tugu itu.”
“Yahh
neng, kalo sekarang mah gak ada yang maenin. Warga yang disini mah sedikit banget yang bisa main
keroncong begituan.”
Dengan rasa sedikit kecewa dan memelas
saya berkata, “yah pak masa gak ada satu pun gitu yang bisa kasih unjuk
saya gimana musik keroncong tugu
itu.”
“Kalo
neng mau, neng bisa dateng ke
Pasar Ikan, Kota sana. Nah disana nanti malem komunitas keroncong kita bakalan tampil.”
***
Petualangan saya menjajaki Kampung Tugu
di Jakarta belum berakhir sampai disiang itu. Pukul 16:00 WIB saya sampai ke
Pasar Ikan, tempat yang dijanjikan Pak Andrew tadi. Tampak stand-stand yang menjual pernak-pernik kota Jakarta ataupun baju
bertuliskan “I love JKT”. Abang
penjual minuman dan makanan pun tampak
dalam bazar tersebut.
Sore itu udara berubah menjadi sejuk dan
memberikan sedikit suasana kalau akan turun hujan. Sedang enaknya saya jalan
untuk mencari makan, tiba-tiba hujan pun turun tanpa memperdulikan ada siapa
dan sedang apa orang-orang dibawahnya. Saya berlari ketempat yang bisa saya
jadikan tempat meneduh.
Gerobak bertuliskan Mie Ayam berada
tepat dibelakang saya. Ternyata itu adalah stand
menjual mie ayam.
“Bang,
pesen satu yah. Jangan pake daun
bawang.”
“Iya neng”
Setelah menunggu beberapa menit,
semangkuk mie ayam sedap sudah ada di depan pandangan saya. Saya pun langsung
melahap mie tersebut tanpa ampun.
“Berapa bang?” tanya saya.
“Delapan ribu neng.”
“Nih
bang. Ohiyaa bang saya mau tanya,
nanti ada pertunjukan keroncong tugu yah disini? Dimananya bang?” tanya saya sambil menyodorkan uang delapan ribu ke tukang
mie itu.
“ooh
keroncong tugu? Itu tuh disana,
tapi pertunjukannya mah masih lama neng. Kalo gak salah jem 8 malem deh.”
Mendengar itu saya berpikir apa yang
harus saya lakukan selama 4 jam di wilayah yang tidak pernah saya datangi dan
sendiri pula. Setelah mengisi perut saya bergegas untuk berkeliling wilayah
yang tidak jauh dengan kota tua itu.
Acara bazar yang diadakan kedua kalinya
di pasar ikan ini bertujuan untuk emnghibur para warga yang tinggal di pasar
ikan. Beruntungnya saya, keroncong tugu yang saya ingin saksikan akan tampil
malam nanti untuk memeriahkan acara Pasar Ikan Fair 2012 ini.
Jam ternyata berlalu begitu cepat dan
sampailah jarum jam saya tepat di pukul 20:00. Gelap mulai melanda. Hanya
lampu-lampu panggung yah menerangi pada malam itu. Penonton sudah bersiap
dengan melayangkan tepuk tangan saat anggota dari keroncong tugu itu naik ke
atas panggung.
Satu jam para komunitas keroncong tugu
itu membius saya dan penonton dengan lagu-lagu diantaranya Jogjakarta, Nonton
Bioskop, dan lagu-lagu lawas lainnya yang pasti dikombinasikan dengan alunan
musik keroncong khas kampung tugu. Tampak warga asing pun menikmati setiap
alunan yang disuguhkan oleh komunitas itu. Akhirnya pertunjukan keroncong tugu
itu selesai. Tidak hanya sampai saya melihat pertunjukkannya saja tetapi banyak
pertanyaan akan ingin saya lontarkan ke komunitas keroncong itu.
Saya mencari inisiatif untuk ke belakang
panggung dan bicara dengan pihak yang bertanggung jawab acara tersebut. Setelah
menunggu setengah jam, akhirnya saya diperbolehkan masuk ke belakang panggung
dan berbincang dengan kepala atau yang mengorganisasikan komunitas keroncong
tugu ini.
Terlepas dari memperkenalkan nama dan
tujuan saya kesana, saya langsung menanyakan pertanyaan kepada paka yang
tingginya sekitar 170cm, berambut sedikit panjang dan berwarnakan putih itu.
Pria itu bernama Andre Juan Michiels.
“Saya suka banget deh sama perform-nya
tadi. Sejak kapan sih pak komunitas
keroncong ini berdiri? ”
“Terima kasih sebelumnya. Awal bermula
dari orangtua saya pada 12 Juli 1988. Kemudian karena mereka mengajarkannya ke
generasi penerusnya seperti saya. Jadi keroncong tugu ini dilestarikan dengan
cara turun menurun,” ujar pria setengah abad itu.
“Apa sih
pak yang membedakan keroncong tugu ini dengan keroncong yang lain seperti yang
ada di Jawa?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar