Selasa, 14 Mei 2013

Jalan-jalan ke Kampung Por”Tugu”ese



oleh: Vacilia

 Neng salah kalau dateng hari ini kesini. Harusnya tuh pas natalan, pasti rame disini,” ujar kakek berkulit sawo matang dan bermata coklat seperti orang bule kepada saya. Ya, beda empat hari sebelum hari natal. Hari itu 21 Desember 2012. Saya harus melalui kawasan peindustrian dan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta untuk sampai ke wisata pesisir Jakarta Utara, Kampung Tugu. 

Sejak awal memang saya berencana untuk mengunjungi Kampung tersebut karena disamping untuk memenuhi tugas kuliah saya juga senang berjalan ke suatu tempat yang menarik dan juga memiliki sejarah di daerah tersebut.

Siang itu, matahari sangat ganas menyapa. Hanya terik dan panas yang dapat saya rasakan. Berlokasi di Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, saya berkesempatan melihat bagaimana kegiatan yang dilakukan masyarakat keturunan portugis sehari-hari dan berdialog dengan salah seorang warga Kampung Tugu asli keturunan portugis.

Sebuah kampung yang tidak begitu luas dan sedikit sumpek. Jarak antar rumah yang berdekatan mewarnai pemandangan saya saat memasuki kawasan Kampung Tugu ini. Saat saya memasuki gerbang bertuliskan ‘Kampung Tugu” rasa penasaran dan takut pun melanda. Mengapa rasa takut saya juga ada? Karena tepat dibelakang mobil saya parkir itu adalah tempat pemakaman. 

Saya sempat bertanya dengan pria yang sudah keriput dan giginya pun bisa dihitung pakai jari.
“Pak, itu tempat pemakaman untuk siapa? Kok banyak gitu?” tanya saya penasaran. 

Bapak itu menjawab dengan senyum 

“Itu pemakaman untuk semua warga tugu yang meninggal dan nggak sembarangan orang yang bisa dikubur disana.”

“Jadi hanya orang-orang keturunan portugis saja yang dikubur disana?”

“iya.”

Ternyata dalam Kampung Tugu ini terdapat tiga kawasan, yaitu pertama yang sudah saya sampaikan tadi saya disambut dengan kompleks pemakaman, kedua Gereja Protestan Tugu, dan paling belakang adalah Kampung Tugu.

Berbataskan tembok yang mulai keropos kemudian jembatan beton yang kokoh daya bercengkrama dengan pria keriput bernama Andrew. Dengan bau tidak sedap untuk dicium yang berasal dari kali dibawah jembatan itu saya menanyakan bagaimana bisa kampung ini berdiri di Jakarta.

“Kenapa sih pak kampung ini disebut kampung tugu?”

“Kata Tugu berasal dari kata Portuguese. Kalo diperhatiin kata “Tugu” itu berasal dari tengah-tengah kata PorTUGUese. Ada cerita lain juga katanya kata-kata “Tugu” berasal dari peninggalan kerajaan Punawarman dimana diketemukannya satu tugu, batu bertulis di sekitar wilayah Kampung Tugu yang sekarang ada di Semper Barat ini,” jawab Pak Andrew dengan ramahnya.

Berdirinya kampung ini tidak bisa kita lepaskan dari sejarah Indonesia. Dulu saat kota Malaka (sekarang Malaysia Barat) yang merupakan kota dagang Portugis jatuh ke tangan Belanda, banyak orang-orang Portugis yang menjadi tawanan Belanda dan dibawa ke Batavia. Kemudian orang-orang Portugis tersebut dibebaskan dan diberi nama “Mardijekers” yang berarti tawanan yang dibebaskan. Kebanyakan dari mereka diberi nama Belanda bahkan tidak sedikit dari mereka yang berpindah agama dari Khatolik menjadi Protestan.

Mayoritas orang portugis itu beragama Khatolik tetapi karena adanya pembauran dari berbagai agama, warga tugu lebih memilih pindah agama dari khatolik ke Kristen Protestan dan sampai sekarang mayoritas masyarakat Tugu menganut agama Kristen Protestan.

Sebagaian dari tawanan iini tahun 1661 oleh pemerintah VOC Belanda dibuang kesuatu tempat sekitar 20 km sebelah tenggara Batavia, yang kita kenal dengan “TOEGOE”, tempat yang penuh rawa-rawa dan binatang buas saat itu. Para serdadu Portugis yang dibuang ke Kampung Tugu ini mendapatkan istri-istri dari penduduk sekitar, seperti orang China dan orang Indonesia.  Keturunan mereka adalah keturunan berdarah campuran sehingga diberi julukan “Mesteizen” yang berarti campuran.

Saking asyiknya saya berbincang dengan Bapak berperawakan tinggi kurus ini, tiba-tiba ada seorang pria mengenakan kaos merah, berbadan gemuk, berkulit sawo matang menghampiri saya dan pak Andrew di jembatan tempat kita berbincang.

“Ini siapa ndrew?” tanya bapak yang umurnya sekitar separuh abad itu sambil menunjuk saya.

“Dia lagi jalan-jalan kesini, terus mau tahu tentang sejarah kampung kita.”

Oh kalo mau tahu lebih banyak mah harusnya diajak masuk ke Gerejanya sono.”

Mau neng saya ajak masuk ke dalem Gereja?” tanya pak Andrew.

Dengan semangat dan senang hati saya menjawab “Mau lah pak, mumpung ada disini jadi pengetahuannya ngga setengah-setengah.”

***

Jalanlah saya bersama pak Andrew dengan satu pria yang saya belum ketahui namanya itu ke Gereja Tugu yang berada tepat di tengah kawasan Kampung Tugu ini. Saat pintu cokelat besar dibuka oleh pak Andrew, saya merasakan ada suatu hawa yang tidak seperti biasanya.

Sunyi, senyap, dan setiap langkah saya dapat menghasilkan gema yang cukup keras saat di dalam ruangan yang tidak terlalu lebar itu tersebut. Salib besar terpampang jelas saat saya masuk. Misbar dan kantong-kantong persembahan pun menghiasi Gereja Tugu ini.

Pak Andrew dan kawannya biasa saja saat memasuki tempat tersebut karena memang sudah terbiasa, tetapi saya yang baru pertama kali masuk ke dalam Gereja yang tak ada satu pun jemaat itu merasakan seperti ada kehidupan lain yang tak tampak oleh kasat mata.

Pak Andrew menceritakan sekilas berdirinya Gereja tersebut. Pada 1661 saat orang-orang Tugu tiba di Kampung Tugu, ibadah mereka masih dilayani oleh Jemaat Portugis di Jakarta, barulah pada 1678 Pendeta Melchior Leydecker membangun sebuah gereja yang pertama diluar Jakarta. Gedung ini digunakan selain untuk ibadah juga dipergunakan untuk kegiatan sekolah. Pada 1680 jumlah orang kristen di Tugu mencapai 800 jiwa. 

Kemudian pada 1700 terjadi wabah influenza yang parah sehingga banyak warga Tugu yang meninggal. Tahun 1738 dibangun gedung Gereja Tugu yang kedua menggantikan Gereja lama yang mengalami kerusakan dimakan usia. 

Tahun 1744 Yustinus Vink seorang tuan tanah Cilincing  membangun kembali sebuah Gedung Gereja, sebagaimana kita lihat sekarang ini dan dipergunakan oleh orang-orang Tugu untuk beribadah. Lalu Tahun 1960 Gereja Tugu yang berlokasi di Jl. Raya Tugu Semper No. 20, RT 010/06, Kel Semper Barat, Jakarta Utara, ditetapkan dan di syahkan masuk menjadi anggota penuh GPIB.

***

“Udah yuk  pak kita ngobrolnya diluar aja, nggak enak disini,” ajak saya sambil berjalan keluar Gereja.
Pak Andrew pun mengikuti kemauan saya untuk berbincang diluar.

“Apa aja sih pak kegiatan warga Tugu disini?”

“Sama kayak masyarakat Jakarta lainnya lah neng. Tapi ada satu kegiatan yang nggak  dilakuin sama warga Jakarta.”

“Apaan pak?”

“Kegiatan komunitas buat melestarikan Keroncong Tugu neng.”

Saat saya mendengar keroncong tugu, wah saya sangat penasaran sekali bagaimana cara memainkannya dan ingin meminta pak Andrew untuk menunjukkannya kepada saya.

“Pak, saya mau lihat dong kegiatan keroncong tugu itu.”

Yahh neng, kalo sekarang mah gak ada yang maenin. Warga yang disini mah sedikit banget yang bisa main keroncong begituan.”

Dengan rasa sedikit kecewa dan memelas saya berkata, “yah pak masa gak ada satu pun gitu yang bisa kasih unjuk saya gimana musik keroncong tugu itu.”

Kalo neng mau, neng bisa dateng ke Pasar Ikan, Kota sana. Nah disana nanti malem komunitas keroncong kita bakalan tampil.”

***

Petualangan saya menjajaki Kampung Tugu di Jakarta belum berakhir sampai disiang itu. Pukul 16:00 WIB saya sampai ke Pasar Ikan, tempat yang dijanjikan Pak Andrew tadi. Tampak stand-stand yang menjual pernak-pernik kota Jakarta ataupun baju bertuliskan “I love JKT”. Abang penjual minuman dan makanan  pun tampak dalam bazar tersebut. 

Sore itu udara berubah menjadi sejuk dan memberikan sedikit suasana kalau akan turun hujan. Sedang enaknya saya jalan untuk mencari makan, tiba-tiba hujan pun turun tanpa memperdulikan ada siapa dan sedang apa orang-orang dibawahnya. Saya berlari ketempat yang bisa saya jadikan tempat meneduh.
Gerobak bertuliskan Mie Ayam berada tepat dibelakang saya. Ternyata itu adalah stand menjual mie ayam.

Bang, pesen satu yah. Jangan pake daun bawang.”

“Iya neng

Setelah menunggu beberapa menit, semangkuk mie ayam sedap sudah ada di depan pandangan saya. Saya pun langsung melahap mie tersebut tanpa ampun.

“Berapa bang?” tanya saya.

“Delapan ribu neng.”

Nih bang. Ohiyaa bang saya mau tanya, nanti ada pertunjukan keroncong tugu yah disini? Dimananya bang?” tanya saya sambil menyodorkan uang delapan ribu ke tukang mie itu.

ooh keroncong tugu? Itu tuh disana, tapi pertunjukannya mah masih lama neng. Kalo gak salah jem 8 malem deh.”

Mendengar itu saya berpikir apa yang harus saya lakukan selama 4 jam di wilayah yang tidak pernah saya datangi dan sendiri pula. Setelah mengisi perut saya bergegas untuk berkeliling wilayah yang tidak jauh dengan kota tua itu. 

Acara bazar yang diadakan kedua kalinya di pasar ikan ini bertujuan untuk emnghibur para warga yang tinggal di pasar ikan. Beruntungnya saya, keroncong tugu yang saya ingin saksikan akan tampil malam nanti untuk memeriahkan acara Pasar Ikan Fair 2012 ini.

Jam ternyata berlalu begitu cepat dan sampailah jarum jam saya tepat di pukul 20:00. Gelap mulai melanda. Hanya lampu-lampu panggung yah menerangi pada malam itu. Penonton sudah bersiap dengan melayangkan tepuk tangan saat anggota dari keroncong tugu itu naik ke atas panggung. 

Satu jam para komunitas keroncong tugu itu membius saya dan penonton dengan lagu-lagu diantaranya Jogjakarta, Nonton Bioskop, dan lagu-lagu lawas lainnya yang pasti dikombinasikan dengan alunan musik keroncong khas kampung tugu. Tampak warga asing pun menikmati setiap alunan yang disuguhkan oleh komunitas itu. Akhirnya pertunjukan keroncong tugu itu selesai. Tidak hanya sampai saya melihat pertunjukkannya saja tetapi banyak pertanyaan akan ingin saya lontarkan ke komunitas keroncong itu.

Saya mencari inisiatif untuk ke belakang panggung dan bicara dengan pihak yang bertanggung jawab acara tersebut. Setelah menunggu setengah jam, akhirnya saya diperbolehkan masuk ke belakang panggung dan berbincang dengan kepala atau yang mengorganisasikan komunitas keroncong tugu ini.
Terlepas dari memperkenalkan nama dan tujuan saya kesana, saya langsung menanyakan pertanyaan kepada paka yang tingginya sekitar 170cm, berambut sedikit panjang dan berwarnakan putih itu. Pria itu bernama Andre Juan Michiels.

“Saya suka banget deh sama perform-nya tadi. Sejak kapan sih pak komunitas keroncong ini berdiri? ”

“Terima kasih sebelumnya. Awal bermula dari orangtua saya pada 12 Juli 1988. Kemudian karena mereka mengajarkannya ke generasi penerusnya seperti saya. Jadi keroncong tugu ini dilestarikan dengan cara turun menurun,” ujar pria setengah abad itu.

“Apa sih pak yang membedakan keroncong tugu ini dengan keroncong yang lain seperti yang ada di Jawa?”
Keroncong emang  asli dari Indonesia tetapi ada beberapa alat musik yang dibawa oleh nenek moyang kami dari negara portugis dan terjadi percampuran dengan musik masyarakat setempat. Perbedaannya sih salah satunya adalah lagu-lagu yang dibawakan dan penyanyinya. Biasanya kita mengenal penyanyi yang ada dalam keroncong-keroncong di jawa ada sinden, tapi di komunitas keroncong tugu ini ngga memakai sinden. Lagu-lagu yang kami bawakan juga bervariasi,”
Perbincangan saya dengan pria yang masih terlihat guratan prortugisnya itu harus terhenti dikarenakan para rombongan atau komunitas keroncong tersebut harus pergi segera mungkin. Hari juga sudah semakin larut.
Pukul 22:00 sudah memanggil saya untuk bergegas pulang. Dingin sudah mulai menyerap ke dalam kulit saya. Udara sejuk cenderung dingin mewarnai malam itu. Acara bazar pun selesai. Tampak para crew membongkar panggung megah yang tadi saya lihat sebelum berbincang dengan Pak Andre.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar